Berikut adalah dalil-dalil tentang adanya wujud Tuhan yang diterangkan oleh Al-Qur'an secara logika, ALLah taala berfirman:
Kini jika memperhatikan makna ayat tersebut kita menelaah bentuk ciptaan -- mulai dari manusia hingga binatang-binatang daratan dan lautan serta burung-burung -- maka timbul ingatan akan kekuasaan Ilahi. Yakni, bentuk ciptaan setiap benda tampak sesuai dengan keadaannya. Para pembaca dipersilahkan memikirkannya sendiri, sebab masalah ini sangat luas.
Yakni seluruh rangkaian sebab dan akibat berakhir pada Tuhan engkau (53:42).
Rincian dalil ini ialah, berdasarkan penelaahan cermat akan diketahui bahwa seluruh alam semesta ini terjalin dalam rangkaian sebab dan akibat. Dan oleh karena itu, di dunia ini timbul berbagai macam ilmu. Sebab, karena tiada bagian ciptaan yang terlepas dari tatanan itu. Sebagian merupakan landasan bagi yang lain, dan sebagian lagi merupakan pengembangan-pengembangannya. Adalah jelas bahwa suatu sebab timbul karena zat-Nya sendiri, atau berlandaskan pada sebab yang lain. Kemudian sebab yang lain itu pun berlandaskan pada sebab yang lain lagi. Dan demikianlah seterusnya. Tidak benar bahwa di dalam dunia yang terbatas ini rangkaian sebab dan akibat tidak mempunyai kesudahan dan tiada berhingga, Maka terpaksa diakui bahwa rangkaian ini pasti berakhir pada suatu sebab terakhir.
Jadi, puncak terakhir semuanya itu ialah Tuhan. Perhatikanlah dengan seksama betapa ayat: “Wa anna ilaa rabbikal-muntahaa” itu dengan kata-katanya yang ringkas telah menjelaskan dalil tersebut di atas, yang artinya, puncak terakhir segala rangkaian ialah Tuhan engkau.
Kemudian satu dalil lagi mengenai adanya Tuhan ialah, sebagaimana firman-Nya:
Yakni, dapatkah Wujud Tuhan Yang telah menciptakan langit dan bumi demikian itu diragukan? (14:10)
Lalu sebuah dalil lagi tentang keberadaan-Nya, difirmankan:
Di dalam ayat ini Allah Ta’ala menerangkan dalam bentuk kisah, suatu ciri khas ruh yang telah ditanamkan-Nya di dalam fitrat mereka. Ciri khas itu ialah, pada fitratnya tiada satu ruh pun yang dapat mengingkari hanyalah karena mereka tidak menemukan apa pun di dalam pikiran mereka. Kendati mereka ingkar, mereka mengakui bahwa tiap-tiap kejadian pasti ada penyebabnya. Di dunia ini tidak ada orang yang begitu bodohnya, misalnya jika pada tubuhnya timbul suatu penyakit, dia tetap bersikeras menyatakan bahwa sebenarnya tidak ada suatu sebab yang menimbulkan penyakit itu. Seandainya rangkaian dunia ini tidak terjalin oleh sebab dan akibat, maka tidaklah mungkin dapat membuat prakiraan bahwa pada tanggal sekian akan datang taufan atau badai; akan terjadi gerhana matahari atau gerhana bulan; atau seseorang yang sakit akan wafat pada waktu tertentu; atau sampai pada waktu tertentu suatu penyakit akan muncul bersamaan dengan penyakit lain. Jadi, seorang peneliti, walaupun tidak mengakui Wujud Tuhan, namun dari satu segi dia telah mengakuinya. Yakni ia pun, seperti halnya kita, mencari-cari penyebab dari sebab akibat. Jadi, itu pun merupakan suatu bentuk pengakuan, walaupun bukan pengakuan yang sempurna.
Selain itu, apabila seseorang yang mengingkari Wujud Tuhan, dengan cara tertentu kesadarannya dihilangkan -- yaitu ia sama sekali dijauhkan dari segala keinginan rendah ini dan segala hasratnya dihilangkan, lalu diserahkan ke dalam kendali Wujud Yang Maha Tinggi -- maka dalam keadaan demikian ia akan mengakui Wujud Tuhan, tidak akan ingkar. Hal serupa itu telah dibuktikan melalui percobaan orang-orang yang berpengalaman luas.
Jadi, ke arah kondisi demikianlah isyarat yang terdapat di dalam ayat itu. Dan makna ayat itu adalah, pengingkaran Wujud Tuhan hanya terjadi sebatas kehidupan rendah saja. Sebab, fitrat yang asli dipenuhi oleh pengakuan itu.
***
Yakni, Tuhan adalah Dia Yang telah menganugerahkan kepada tiap sesuatu penciptaan/kelahiran yang sesuai dengan keadaannya, kemudian menunjukinya jalan untuk mencapai kesempurnaannya yang diinginkan (20:50).
Kini jika memperhatikan makna ayat tersebut kita menelaah bentuk ciptaan -- mulai dari manusia hingga binatang-binatang daratan dan lautan serta burung-burung -- maka timbul ingatan akan kekuasaan Ilahi. Yakni, bentuk ciptaan setiap benda tampak sesuai dengan keadaannya. Para pembaca dipersilahkan memikirkannya sendiri, sebab masalah ini sangat luas.
Dalil kedua mengenai adanya Tuhan ialah, Alquran Suci telah
menyatakan Allah Ta’ala sebagai sebab dasar dari segala sebab,
sebagaimana Alquran Suci menyatakan:
وَاَنَّ اِلٰى رَبِّكَ الْمُنْتَهٰىۙ
Yakni seluruh rangkaian sebab dan akibat berakhir pada Tuhan engkau (53:42).
Rincian dalil ini ialah, berdasarkan penelaahan cermat akan diketahui bahwa seluruh alam semesta ini terjalin dalam rangkaian sebab dan akibat. Dan oleh karena itu, di dunia ini timbul berbagai macam ilmu. Sebab, karena tiada bagian ciptaan yang terlepas dari tatanan itu. Sebagian merupakan landasan bagi yang lain, dan sebagian lagi merupakan pengembangan-pengembangannya. Adalah jelas bahwa suatu sebab timbul karena zat-Nya sendiri, atau berlandaskan pada sebab yang lain. Kemudian sebab yang lain itu pun berlandaskan pada sebab yang lain lagi. Dan demikianlah seterusnya. Tidak benar bahwa di dalam dunia yang terbatas ini rangkaian sebab dan akibat tidak mempunyai kesudahan dan tiada berhingga, Maka terpaksa diakui bahwa rangkaian ini pasti berakhir pada suatu sebab terakhir.
Jadi, puncak terakhir semuanya itu ialah Tuhan. Perhatikanlah dengan seksama betapa ayat: “Wa anna ilaa rabbikal-muntahaa” itu dengan kata-katanya yang ringkas telah menjelaskan dalil tersebut di atas, yang artinya, puncak terakhir segala rangkaian ialah Tuhan engkau.
Kemudian satu dalil lagi mengenai adanya Tuhan ialah, sebagaimana firman-Nya:
لَا الشَّمْسُ يَنْۢبَغِىْ لَهَاۤ اَنْ تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلَا الَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِؕ وَكُلٌّ فِىْ فَلَكٍ يَّسْبَحُوْنَ
Yakni, matahari tidak dapat mengejar bulan dan juga malam yang merupakan penampakkan bulan tidak dapat mendahului siang yang merupakan penampakkan matahari. Yakni, tidak ada satu pun di antara mereka yang keluar dari batas-batas yang ditetapkan bagi mereka (36:41).
Jika di balik semua itu tidak ada Wujud Sang Perencana, niscaya segala
rangkaian tersebut akan hancur. Dalil ini sangat bermanfaat bagi
orang-orang yang gemar menelaah benda-benda langit, sebab benda-benda
langit tersebut merupakan bola-bola raksasa yang tiada terhitung
banyaknya, sehingga dengan sedikit saja terganggu maka seluruh dunia
dapat hancur. Betapa ini merupakan suatu kekuasaan yang hakiki sehingga
benda-benda langit itu tidak saling bertabrakkan dan kecepatannya tidak
berubah seujung rambut pun, serta tidak aus walau telah sekian lama
bekerja dan tidak terjadi perubahan sedikit pun. Sekiranya tidak ada
Sang Penjaga, bagaimana mungkin jalinan kerja yang demikian besar ini
dapat berjalan dengan sendirinya sepanjang masa. Dengan mengisyaratkan
kepada hikmah-hikmah itulah, di tempat lain Allah Ta’ala berfirman:
اَفِىْ اللّٰهِ شَكٌّ فَاطِرِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ
Yakni, dapatkah Wujud Tuhan Yang telah menciptakan langit dan bumi demikian itu diragukan? (14:10)
Lalu sebuah dalil lagi tentang keberadaan-Nya, difirmankan:
كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ ۚۖ وَّيَبْقٰى وَجْهُ رَبِّكَ ذُوْ الْجَلٰلِ وَالْاِكْرَامِۚ
Yakni, tiap sesuatu akan mengalami kepunahan dan yang kekal itu hanyalah Tuhan Yang memiliki kebesaran dan kemuliaan (55:27,28).
Kini perhatikanlah! Jika kita bayangkan dunia ini menjadi hancur-lebur
dan benda-benda langit pun pecah berkeping-keping, serta bertiup angin
yang melenyapkan seluruh jejak benda-benda itu, namun demikian akal
mengakui serta menerima -- bahkan hati nurani menganggapnya mutlak --
bahwa sesudah segala kebinasaan itu terjadi, pasti ada sesuatu yang
bertahan yang tidak mengalami kepunahan serta perubahan-perubahan dan
tetap utuh seperti keadaannya semula. Jadi, itulah Tuhan yang telah
menciptakan semua wujud fana (tidak kekal), sedangkan Dia sendiri
terpelihara dari kepunahan
Kemudian satu dalil lagi berkenaan dengan keberadaan-Nya yang Dia kemukakan di dalam Alquran Suci adalah :
Kemudian satu dalil lagi berkenaan dengan keberadaan-Nya yang Dia kemukakan di dalam Alquran Suci adalah :
اَلَسْتُ بِرَبِّكُمْؕ قَالُوْا بَلٰى
Yakni, Aku berkata kepada setiap ruh: “Bukankah Aku Tuhan kamu?” Mereka berkata, “Ya, sungguh benar!” (7:172).
Di dalam ayat ini Allah Ta’ala menerangkan dalam bentuk kisah, suatu ciri khas ruh yang telah ditanamkan-Nya di dalam fitrat mereka. Ciri khas itu ialah, pada fitratnya tiada satu ruh pun yang dapat mengingkari hanyalah karena mereka tidak menemukan apa pun di dalam pikiran mereka. Kendati mereka ingkar, mereka mengakui bahwa tiap-tiap kejadian pasti ada penyebabnya. Di dunia ini tidak ada orang yang begitu bodohnya, misalnya jika pada tubuhnya timbul suatu penyakit, dia tetap bersikeras menyatakan bahwa sebenarnya tidak ada suatu sebab yang menimbulkan penyakit itu. Seandainya rangkaian dunia ini tidak terjalin oleh sebab dan akibat, maka tidaklah mungkin dapat membuat prakiraan bahwa pada tanggal sekian akan datang taufan atau badai; akan terjadi gerhana matahari atau gerhana bulan; atau seseorang yang sakit akan wafat pada waktu tertentu; atau sampai pada waktu tertentu suatu penyakit akan muncul bersamaan dengan penyakit lain. Jadi, seorang peneliti, walaupun tidak mengakui Wujud Tuhan, namun dari satu segi dia telah mengakuinya. Yakni ia pun, seperti halnya kita, mencari-cari penyebab dari sebab akibat. Jadi, itu pun merupakan suatu bentuk pengakuan, walaupun bukan pengakuan yang sempurna.
Selain itu, apabila seseorang yang mengingkari Wujud Tuhan, dengan cara tertentu kesadarannya dihilangkan -- yaitu ia sama sekali dijauhkan dari segala keinginan rendah ini dan segala hasratnya dihilangkan, lalu diserahkan ke dalam kendali Wujud Yang Maha Tinggi -- maka dalam keadaan demikian ia akan mengakui Wujud Tuhan, tidak akan ingkar. Hal serupa itu telah dibuktikan melalui percobaan orang-orang yang berpengalaman luas.
Jadi, ke arah kondisi demikianlah isyarat yang terdapat di dalam ayat itu. Dan makna ayat itu adalah, pengingkaran Wujud Tuhan hanya terjadi sebatas kehidupan rendah saja. Sebab, fitrat yang asli dipenuhi oleh pengakuan itu.
Itulah beberapa
dalil-dalil tentang Wujud Tuhan yang kami tuliskan sebagai contoh.
***
Dikutip dari buku Buku Filsafat Ajaran Islam karya Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, halaman 66-69, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1993)
0 komentar:
Posting Komentar
Jika ingin Copy Paste, jangan lupa ikutkan Link :D
↙komen↘